Monday, June 6, 2016

Niat Sahur atau Doa Sahur untuk Puasa di Bulan Suci Ramadhan 1437 H 2016 M

Niat sahur atau doa sahur untuk berpuasa di Bulan suci Ramadhan senantiasa dilakukan agar ibadah puasa yang Insya Allah akan kita laksanakan di bulan suci Ramadhan mendapatkan berkah dari Allah SWT. Berbicara mengenai niat sahur atau doa sahur untuk menjalakan ibadah puasa, bisa menggunakan berbagai macam bahasa yang dimengerti dan tentunya di pahami maknanya.

Niat Sahur atau Doa Sahur

Kali ini penulis akan berbagi kepada sahabat mengenai niat sahur atau doa sahur apabila hendak sahur sebagai sunnah sebelum menjalankan ibadah puasa di hari esok. Niat atau doa yang akan penulis bagikan yaitu dalam bahasa arab yang mungin telah umum diketahui oleh sebagaian besar umat Isla yang telah berkewajiban menjalankan ibadah puasa di Bulan suci Ramadhan.

Berikut Niat Sahur atau Doa sahur untuk beruasa di Bulan suci Ramadhan

Niat sebelum makan sahur atau doa sahur:

نـَوَيْتُ صَوْمَ غـَدٍ عَـنْ ا َدَاءِ فـَرْضِ شـَهْرِ رَمـَضَانَ هـَذِهِ السَّـنـَةِ لِلـّهِ تـَعَالىَ

Dibaca :

Nawaitu shauma gadhin ‘an adaai fardhu syahri ramadhaan haadzihis sanati lillahi ta’aalaa.

Artinya:

"Dengan nama Allah yg maha Pengasih maha Penyayang saya berniat berpuasa sehari penuh besok dalam bulan ini bulan Ramadhan, karena Engkau ya Allah".

Tips Sahur yang tepat dan benar - Niat Sahur

Selain niat sahur atau doa sahur di atas, berikut ini juga akan sedikit dibahas mengenai bagaimana cara agar sahur kita bisa menjadi penunjang lancaranya puasa di hari esok.

1. Niat sahur untuk berpuasa di esok hari karena Allah semata

Niat sahur merupakan awal yang baik sebelum menyantap makanan sahur sehingga tujuan dari sahur jelas, dan insya Allah akan berkah di mata Allah SWT.

2. Makan dengan porsi normal

Jangan makan sahur dengan porsi yang lebih banyak dari porsi makan Anda biasanya makan. Karena jika lebih banyak itu justru akan membuat perut Anda kekenyangan dan merasa tidak nyaman.

Selain itu, makanan yang masuk ke tubuh dalam jumlah yang berlebihan bisa menyebabkan tubuh Anda lebih cepat mengalami dehidrasi. Namun demikian, makan dengan porsi yang terlalu sedikit juga tidak baik, karena bisa mengurangi energi dalam tubuh dan menyebabkan tubuh menjadi lebih cepat lemas.

3. Makan makanan berkarbohidrat kompleks

Saat sahur, perbanyaklah untuk mengonsumsi makanan yang banyak mengandung karbohidrat kompleks seperti nasi merah, gandum utuh, roti gandum, biji-bijian, serta buah dan sayuran. Oleh tubuh, karbohidrat kompleks akan dicerna lebih lama sehingga mampu menghasilkan cadangan energi yang lama serta memperlambat sistem pencernaan, dengan demikian perut Anda pun akan merasa kenyang lebih lama.

Selain itu, karbohidrat kompleks juga bisa mencegah dehidrasi karena fungsinya yang mampu membantu tubuh menyerap air lebih efisien.

4. Jangan terburu-buru

Mengunyah makanan terlalu cepat akan membuat kadar gula dalam darah terganggu, sehingga beberapa jam saja setelah sahur perut Anda sudah akan merasa lapar. Tubuh akan bekerja lebih keras untuk menyerap nutrisi makanan pada saat kita makan terlalu cepat. Akibatnya, proses penyerapan nutrisi oleh tubuh kurang sempurna sehingga Anda pun akan cepat merasa lemas.

5. Minum cukup air putih

Saat sahur, banyak-banyaklah minum air putih. Daripada teh atau minuman manis lainnya, air putih jauh lebih baik. Meski minuman manis lebih cepat menghasilkan tambahan energi, namun energi yang dihasilkan juga lebih cepat hilang sehingga tubuh Anda akan lebih mudah menjadi lemas.

Minum-minuman manis lebih disarankan untuk dikonsumsi ketika buka puasa, karena untuk menggantikan energi yang hilang dalam waktu yang cepat. Selain itu, konsumsilah buah dan sayur yang mengandung banyak air seperti semangka dan timun. Jangan minum kopi dan teh secara berlebihan karena minuman tersebut bisa menyebabkan tubuh kekurangan cairan.

Nach cukup sampai di sini untuk pembahasan mengenai niat sahur atau doa sahur untuk berpuasa di bulan suci Ramadhan, semoga bermanfaat bagi kita semua. Marhaban ya Ramadhan.


Sumber : http://www.belajarbagus.com/2015/06/niat-sahur.html?m=1#

Monday, March 28, 2016

"Tangan kanan memberi, Tangan kiri tidak mengetahui "

"bersedekah dengan tangan kanannya namun tangan kirinya tidak mengetahuinya"

Rosulullah SAW bersabda: ”Tatkala Allah menciptakan bumi, bumi tersebut bergoyang-goyang, maka Allah pun menciptakan gunung-gunung kalau Allah lemparkan gunung-gunung tersebut di atas bumi maka tenanglah bumi. Maka para malaikatpun terkagum-kagum dengan penciptaan gunung, mereka berkata, ”Wahai Tuhan kami, apakah ada dari makhluk Mu yang lebih kuat dari gunung?” Allah berkata, “Ada yaitu besi”.

Lalu mereka bertanya (lagi),
”Wahai Tuhan kami, apakah ada dari makhlukMu yang lebih kuat dari besi?”, Allah menjawab, ”Ada yaitu api.”,

mereka bertanya (lagi), ”Wahai Tuhan kami, apakah ada makhluk Mu yang lebih kuat dari pada api?”, Allah menjawab, ”Ada yaitu air”,

mereka bertanya (lagi), ”Wahai Tuhan kami, apakah ada makhlukMu yang lebih kuat dari pada air?”, Allah menjawab, ”Ada yaitu air”

mereka bertanya (lagi), ”Wahai Tuhan kami, apakah ada makhlukMu yang lebih kuat dari pada air?”, Allah menjawab, ”Ada yaitu angin”

mereka bertanya (lagi), ”Wahai Tuhan kami, apakah ada makhlukMu yang lebih kuat dari pada angin?”, Allah menjawab, ”Ada yaitu seorang anak Adam yang bersedekah dengan tangan kanannya lalu dia sembunyikan agar tidak diketahui tangan kirinya”.

Diriwayatkan oleh Imam Ahamad dalam Musnadnya 3/124 dari hadits Anas bin Malik. Berkata Ibnu Hajar, ”Dari hadits Anas dengan sanad yang hasan marfu’” (Al-Fath 2/191).

Sungguh benar orang yang berkata, “Jangan heran kalau engkau melihat seorang yang bisa jalan di atas air, karena syaitan juga bisa berjalan di atas air. Janganlah heran kalau engkau melihat seorang yang berjalan terbang diudara, karena syaitan juga bisa terbang di udara. Tapi heranlah engkau jika engkau melihat seorang yang bersedekah dengan tangan kanannya namun tangan kirinya tidak mengetahuinya, karena syaitan tidak bersedekah (apalagi dengan ikhlas)

(Untaian kalimat ini, penulis tidak mengetahui siapa yang mengucapkannya. Namun penulis pernah mendengarnya dari seorang petugas penjaga mushola dikapal laut, tatkala menyampaikan nasehat pada awak penumpang kapal. Mungkin saja dialah yang mengucapkan perkataan ini pertama kali. Namun bagaimanapun perkataan ini benar maknanya jika ditinjau dari kacamata syar’i, Wallahu A’lam).

Ingat perkataan Ibnul Qoyyim, “Tidaklah akan berkumpul keikhlasan dalam hati bersama rasa senang untuk dipuji dan disanjung dan keinginan untuk memperoleh apa yang ada pada manusia kecuali sebagaimana terkumpulnya air dan api…” (Fawaid Al-Fawaid, Ibnul Qoyyim, tahqiq Syaikh Ali Hasan, hal 423). Wahai Dzat yang membolak-balikan hati-hati (manusia) tetapkanlah hatiku di atas agamaMu

Allah berfirman, yang artinya:
“Jika kalian menampakkan sedekah kalian maka itu adalah baik sekali. Dan jika kalian menyembunyikannya dan kalian berikan kepada orang-orang fakir maka menyembunyikanya itu lebih baik bagi kalian. Dan Allah akan menghapuskan dari kalian sebagian kesalahan-kesalahan kalian, dan Allah maha mengetahui apa yang kalian kerjakan” (QS. Al-Baqoroh: 271).

( TAFSIR )

Berkata Ibnu Kasir dalam Tafsirnya, ”Asalnya isror (amalan secara tersembunyi tanpa diketahui orang lain) adalah lebih afdol dengan dalil ayat ini dan hadits dalam shohihain (Bukhori dan Muslim) dari Abu Huroiroh, beliau berkata: “Berkata Rasulullah : ”Tujuh golongan yang berada dibawah naungan Allah pada hari dimana tidak ada naungan kecuali naungan Allah, Imam yang adil, dan seorang yang bersedekah lalu dia menyembunyikannya hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya” Diriwayatkan oleh Al-Bukhori (1423) dan Muslim (2377). Berkata Imam Nawawi: ”Berkata para Ulama bahwanya penyebutan tangan kanan dan kiri menunjukan kesungguhan dan sangat dismbunyikannya serta tidak diketuhinya sedekah. Perumpamaan dengan kedua tangan tersebut karena dekatnya tangan kanan dengan tangan kiri, dan tangan kanan selalu menyertai tangan kiri. Dan maknanya adalah seandainya tangan kiri itu seorang laki-laki yang terjaga maka dia tidak akan mengetahui apa yang diinfak oleh tangan kanan karena saking disembunyikannya.” (Al-Minhaj 7/122), hal ini juga sebagaimana penjelasan Ibnu Hajr (Al-Fath 2/191).

(Sumber : dari berbagai situs)

Friday, January 22, 2016

Syarat -syarat dan tata cara Shalat Jum'at

Shalat Jum'at



Shalat Jum’at itu hukumnya fardhu ‘ain bagi tiap-tiap muslim, mukallaf, laki-laki sehat dan bermukim.

Syarat-syarat Shalat Jama'ah diantaranya:
• Menyengaja (niat) mengikuti imam.

• Mengetahui segala yang dikerjakan imam.

• Jangan ada dinding yang menghalangi antara imam dan makmum, kecuali bagi perempuan di masjid, hendaklah didindingi dengan kain, asal ada sebagian atau salah seorang mengetahui gerak-gerik imam atau makmum yang dapat diikuti.

• Jangan mendahului imam dalam takbir, dan jangan mendahului atau melambatkan diri dua rukun fi'ly.

• Jangan sejajar tempat makmum dan imam.

• Jarak antara imam dan makmum atau antara makmum dan baris makmum yang terakhir tidak lebih dari 300 hasta.

• Shalat makmum harus bersesuaian dengan shalat imam, misalnya sama-sama dzhuhur, qashar, jama' dan sebagainya.

Hukum Khutbah diantaranya:
1. Membaca "Al-hamdu lillaah" dalam dua khutbah itu.

2. Membaca shalawat atas Nabi Muhammad saw. dalam dua khutbah.

3. Berwasiat dengan "taqwa" kepada Allah dalam dua khutbah.

4. Membaca ayat Al-Qur'an dalam salah satu khutbah.

5. Memohonkan maghfirah (ampunan) bagi sekalian mukminin pada khutbah yang kedua.

Syarat-syarat Khutbah diantaranya:
1. Isi rukun khutbah dapat didengar oleh 40 orang ahli Jum'ah.

2. Berturut-turut antara khutbah pertama dengan khutbah kedua.

3. Menutup auratnya.

4. Badan, pakaian dan tempatnya suci dari hadats dan najis.

5. Mandi dan membersihkan tubuh

6. Memakai pakaian putih

7. Memotong kuku

8. Memakai wangi-wangian

9. Memperbanyak membaca ayat-ayat Al-Qur'an, doa dan dzikir.

10. Tenang waktu khatib membaca khutbah.

Keterangan:

Bagi orang yang terlambat datang ke masjid, sedang khatib tengah berkhutbah, hendaknya mempercepat shalat sunahnya (tahiyyatul masjid) dua raka'at, kemudian duduk terus mendengarkan khutbah.


Bagi orang yang menghadiri shalat Jum'at disunahkan melakukan 6 perkara, diantarnya:
1. Mandi dan membersihkan tubuh

2. Memakai pakaian putih

3. Memotong kuku

4. Memakai wangi-wangian

5. Memperbanyak membaca ayat-ayat Al-Qur'an, doa dan dzikir.

6. Tenang waktu khatib membaca khutbah.

Keterangan:

Bagi orang yang terlambat datang ke masjid, sedang khatib tengah berkhutbah, hendaknya mempercepat shalat sunahnya (tahiyyatul masjid) dua raka'at, kemudian duduk terus mendengarkan khutbah.


Tata Cara Sholat Jum’at
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa shalat Jum’at adalah fardhu/wajib atas laki-laki yang berakal dan sudah baligh yang bukan musafir, serta tidak ada uzur/halangan yang membolehkannya untuk meninggalkan Jum’atan. Shalat Jum’at dikerjakan untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wata’ala sehingga seseorang meraih surga-Nya dan terhindar dari azab-Nya.

Shalat Jum’at dilangsungkan setelah didahului dengan dua khutbah. Apabila khatib telah selesai berkhutbah maka muazin mengumandangkan iqamah, dan yang utama bahwa khatib itu juga yang memimpin shalat Jum’at, meskipun boleh jika khatib dan imam Jum’at itu berbeda. Hal ini dibolehkan karena khutbah adalah amalan tersendiri dan terpisah dari shalat, hanya saja hal ini menyelisihi sunnah. (Lihat Fatawa al- Lajnah ad-Daimah 8/237)

Telah mutawatir dan masyhur dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau shalat Jum’at hanya dua rakaat1. Demikian pula bahwa kaum muslimin telah sepakat bahwa shalat Jum’at itu dua rakaat. Dengan ini, shalat Jum’at adalah shalat tersendiri, bukan zhuhur dan bukan ganti dari zhuhur. Barang siapa menyangka bahwa Jum’atan adalah shalat zhuhur yang diqashar/diringkas maka dia telah jauh rimbanya. Akan tetapi, Jum’atan adalah shalat tersendiri yang memiliki syarat dan sifat yang khusus. Oleh karena itu, shalat Jum’at dilakukan dua rakaat meskipun dalam kondisi mukim. (lihat asy-Syarhul Mumti’ 5/88-89)

Surat Apa yang Dibaca dalam Shalat Jum’at?
Surat apa saja dari al-Qur’an yang dibaca imam setelah al-Fatihah maka telah mencukupi. Namun ada beberapa surat yang disunnahkan untuk dibaca pada shalat Jum’at yaitu surat al-Jumu’ah dan surat al-Munafiqun atau surat al-A’la
(سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى)
dan surat al-Ghasyiyah

(هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ).

Hal ini berlandaskan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu membaca surat al-Jumu’ah dan surat al-Munafiqun dalam shalat Jum’at (HR. Muslim no. 879)

Dari sahabat an-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membaca :
سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى
dan
هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ
pada shalat ‘Ied dan Jum’at.” (HR. Muslim 878)

Ulama menyebutkan di antara hikmah membaca surat al-Jumu’ah karena ia memuat tentang wajibnya Jum’atan dan hukum-hukum Jum’atan. Adapun hikmah dibacanya surat al-Munafiqun karena orang-orang munafik tidaklah berkumpul pada suatu majelis yang lebih banyak daripada saat Jum’atan. Oleh karena itu, dibaca surat ini sebagai celaan atas mereka dan peringatan agar mereka bertobat. (lihat Syarh Shahih Muslim 6/404 karya an-Nawawi rahimahullah)

Bacaan al-Fatihah dan surat pada shalat Jum’at itu dengan jahr (dikeraskan) sebagaimana dengan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Hal ini tentu menjadi salah satu bukti bahwa shalat Jum’at tidak sama dengan shalat zhuhur. Adapun bacaan-bacaan yang lain di saat sujud, ruku’, dan semisalnya, serta gerakan-gerakannya sama dengan shalat-shalat yang lain.

Kapan Seseorang Dikatakan telah Mendapatkan Shalat Jum’at?

Jika mendapatkan satu rakaat bersama imam yang minimalnya mendapatkan ruku’ bersama imam pada rakaat kedua berarti dia telah mendapatkan shalat Jum’at sehingga dia tinggal menambah satu rakaat yang tertinggal. Ini berlandaskan hadits Abu Hurairah bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ أَدْرَكَ مِنَ الْجُمُعَةِ رَكْعَةً فَلْيَصِلْ إِلَيْهَا أُخْرَى
“Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari (shalat) Jum’at hendaklah dia menyambung kepadanya rakaat yang lain.” (Shahih Sunan Ibnu Majah no. 927)

Hadits ini dijadikan landasan dalam beramal menurut mayoritas ulama dari kalangan sahabat dan yang lainnya. Mereka mengatakan, “Barang siapa mendapati satu rakaat dari Jum’atan maka ia shalat (satu rakaat) yang lain untuk (menyempurnakannya). Barang siapa mendapati mereka sudah duduk maka ia shalat empat rakaat.” (Sunan at-Tirmidzi 2/403)

Maka dari itu, barang siapa yang tidak mendapati shalat Jum’at bersama imam ia shalat zhuhur empat rakaat, bukan shalat Jum’at.

Adakah Shalat Sunnah Qabliah Jum’at?
Perlu diketahui bahwa disunnahkan bagi seseorang yang masuk masjid pada hari Jum’at untuk shalat sunnah sampai imam naik mimbar untuk berkhutbah. Shalat sunnah ini tidak ada bilangan dan waktu tertentu. Jadi, ini tergolong shalat sunnah mutlak, bukan qabliah. Adapun masalah apakah untuk shalat Jum’at ada shalat sunnah qabliah yang khusus selain tahiyatul masjid sebagaimana ada shalat qabliah zhuhur? Maka dalam hal ini tidak ada dalil yang kuat sedikit pun dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Adapun hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam shalat sebelum Jum’at empat rakaat tanpa memisahkan padanya (dengan salam) maka sanadnya lemah sekali. An-Nawawi rahimahullah mengatakan dalam al-Khulashah bahwasanya itu adalah hadits batil. (AhaditsulJumu’ah hlm. 315 dan al-Ajwibah an-Nafi’ah hlm. 32)

Ibnul Qayyim rahimahullah menerangkan, “Apabila Bilal telah selesai mengumandangkan azan maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memulai berkhutbah. Tidak ada seorang pun (dari sahabat) yang berdiri melakukan shalat dua rakaat sama sekali. Dahulu, azan tidak ada selain satu saja, ini menunjukkan bahwa shalat Jum’at seperti (shalat) hari raya, tidak ada sunnah qabliah.

Ini adalah yang paling sahih dari dua pendapat ulama, dan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan hal ini. Sebab, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu keluar rumahnya (untuk khutbah Jum’at) dan ketika naik mimbar, Bilal mengumandangkan azan. Jika Bilal telah menyempurnakan azan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berkhutbah tanpa adanya pemisah.

Hal ini terlihat jelas oleh mata, lalu kapan mereka (para sahabat) shalat sunnah (qabliah)?! Barang siapa mengira bahwa mereka semuanya berdiri lalu shalat dua rakaat, dia adalah orang yang paling bodoh tentang sunnah. Apa yang kami sebutkan bahwa tidak ada shalat sunnah sebelum shalat Jum’at adalah pendapat Malik, Ahmad dalam pendapatnya yang masyhur, dan salah satu sisi (pendapat) pengikut-pengikut asy-Syafi’i.”

Lalu Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan pendalilan orang-orang yang menyatakan adanya sunnah qabliah dan memberi bantahan yang luar biasa bagusnya kepada mereka. (lihat Zadul Ma’ad, 1/417—424) Sesungguhnya, di antara yang menyebabkan sebagian orang melakukan shalat sunnah qabliah Jum’at yang tidak ada contohnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum adalah adanya azan awal sebelum khatib naik mimbar.

Oleh karena itu, kami tegaskan kembali ucapan al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah dalam al-Umm bahwa azan Jum’at yang beliau sukai adalah seperti yang ada di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam naik mimbar. Jika ada yang berdalil dengan hadits,
بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلَاةٌ
“Antara dua azan ada shalat.” (Muttafaqun ‘alaihi) Yang dimaksud dua azan adalah azan dan iqamah, sehingga bukan antara azan Jum’at pertama sebelum naik mimbar dengan azan ketika khatib telah naik mimbar. Hal ini karena azan Jum’at di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam hanya ketika beliau naik mimbar.

Shalat Sunnah Ba’diyah Jum’at

Disunnahkan untuk shalat sunnah selesai shalat Jum’at setelah berzikir atau beralih dari tempat yang ia shalat Jum’at. Shalat sunnah setelah Jum’atan ada dua macam: dua rakaat atau empat rakaat. Al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dari jalan sahabat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu shalat sebelum zhuhur dua rakaat dan setelah zhuhur dua rakaat, setelah maghrib dua rakaat di rumahnya, dan dua rakaat setelah isya’. Beliau tidak shalat setelah Jum’at sampai beliau pergi lalu shalat dua rakaat. (Shahih al-Bukhari no. 937)

Adapun yang empat rakaat, sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِذَا صَلَّى أَحَدُكَمْ الْجُمُعَةَ فَلْيُصَلِّ بَعْدَهَا أَرْبَعًا
“Apabila salah seorang kalian telah shalat Jum’at, hendaknya ia shalat setelahnya empat rakaat.” (HR. Muslim no. 881 dan selainnya)

Jika Hari Raya Jatuh Pada Hari Jum’at
Di sana ada rukhsah/keringanan untuk meninggalkan shalat Jum’at dan menggantinya dengan zhuhur bila seseorang telah shalat hari raya yang jatuh pada hari Jum’at. Hal ini berlandaskan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
قَدْ اِجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيْدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ عَنِ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُوْنَ
“Telah terkumpul pada hari kalian ini dua hari raya. Barang siapa yang mau maka (shalat hari raya) telah mencukupinya dari Jum’atan, dan sesungguhnya kami akan mengadakan Jum’atan.” (HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dinyatakan shahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 4365)

Ash-Shan’ani rahimahullah berkata,“Sesungguhnya shalat Jum’at setelah shalat ied menjadi rukhsah (suatu keringanan) boleh melakukannya dan boleh meninggalkannya, dan ini khusus bagi yang shalat ied dan bukan bagi orang yang tidak shalat ied.” (Subulus Salam, 2/52)

Rukhsah di sini umum sifatnya bagi imam dan makmum. Adapun pengabaran dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa “Kami akan menjalankan Jum’atan” hal ini tidak menunjukkan bahwa imam wajib melaksanakan Jum’atan. Sebab, ucapan ini bersifat pemberitaan yang tidak pas untuk dijadikan dalil tentang wajibnya Jum’atan bagi imam.

Di antara dalil bahwa imam juga mendapatkan rukhsah adalah sahabat Ibnu Zubair radhiyallahu ‘anhu, yang waktu itu sebagai penguasa, tidak shalat Jum’at pada hari raya. Ketika Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma ditanya tentang itu, beliau menjawab, “Sesuai dengan sunnah.” (Sunan an-Nasai no. 1590)

Selain itu, tidak ada seorang sahabat pun yang mengingkari sahabat Ibnu Zubair radhiyallahu ‘anhu. (Nailul Authar 3/336) Meskipun demikian, imam disyariatkan untuk tetap hadir di masjid dengan tujuan menegakkan shalat Jum’at bersama orang-orang yang menghadirinya. Hal ini berlandaskan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang telah berlalu penyebutannya
وَأَنَا مُجَمِّعُوْنَ
(“Dan kami akan menegakkan Jum’atan.”)

Wanita Menghadiri Shalat Jum’at
Shalat Jum’at dan shalat berjamaah tidak wajib atas wanita. Yang sunnah bagi mereka di hari Jum’at dan selainnya adalah shalat di rumahnya dan ini lebih utama. Namun, jika ia ikut shalat Jum’at bersama kaum muslimin, ini menggugurkan kewajibannya untuk shalat zhuhur. Hanya saja, ketika keluar, dia harus mengenakan hijab dan pakaian yang menutupi auratnya dan tidak memakai minyak wangi. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
وَلْيَخْرُجْنَ تَفِ تَالِ
“Hendaknya mereka keluar tanpa memakai wewangian.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
وَبُيُوْتُهُنَّ خَيْرٌلَهُنَّ
“Dan rumah-rumah mereka lebih baik.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

Dari sini kita bisa mengetahui bahwa wanita tidak wajib Jum’atan, tetapi shalat zhuhur di rumahnya. Namun, apabila ia shalat Jum’at bersama orang banyak, Jum’atannya sah dan menggantikan shalat zhuhur. (Diringkas dari Majmu’ Fatawa 12/333-334, asy-Syaikh Ibnu Baz)

Jum’atannya dianggap sah karena wanita tersebut bermakmum kepada imam shalat Jum’at, sehingga sah baginya karena sebagai pengikut. Dan tidak sah Jum’atan wanita itu kalau dia shalat sendirian.(Lihat asy-Syarhual-Mumti’ 5/21)

Menjamak Shalat Ashar dengan Shalat Jum’at
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah menerangkan, “Sebatas pengetahuan kami, dalam hal ini tidak ada dalil yang menunjukkan bolehnya menjamak (menggabungkan) shalat ashar dengan shalat Jum’at. Tidak ada nukilan tentang menjamak shalat tersebut dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak pula dari seorang sahabat Rasul radhiyallahu ‘anhum. Maka dari itu, yang menjadi keharusan adalah tidak melakukannya. Orang yang telah melakukannya harus mengulangi shalat ashar apabila telah masuk waktunya.” (Majmu’ Fatawa 12/300, asy-Syaikh Ibnu Baz)

Senada dengan itu adalah pernyataan asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin, “Shalat ashar tidak dijamak dengan Jum’atan karena tidak adanya sunnah yang menjelaskan hal itu. Tidak benar hal itu dikiaskan dengan menjamak ashar dengan zhuhur, karena perbedaan yang banyak antara Jum’at dengan zhuhur. Hukum asalnya, setiap shalat harus dikerjakan pada waktunya kecuali ada dalil yang membolehkan untuk menjamaknya dengan yang lain.” (Fatawa Arkanil Islam hlm. 383)

Masalah ini memang diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian ulama membolehkan menjamak shalat Jum’at dengan shalat ashar, sebagaimana disebutkan oleh an-Nawawi. Alasan mereka, shalat Jum’at adalah pengganti shalat zhuhur sehingga ia mengambil hukum-hukum shalat zhuhur, termasuk dalam hal bolehnya dijamak dengan shalat ashar. Wallahu a’lam. (-ed.)

Shalat Zhuhur Setelah Shalat Jum’at 
Telah diketahui dari agama ini secara pasti dan dengan dalil-dalil syariat bahwa Allah Subhanahu wata’ala Yang Mahasuci tidaklah mensyariatkan di waktu zhuhur hari Jum’at kecuali satu (shalat) wajib yaitu shalat Jum’at atas para lelaki yang mukim/tinggal dan menetap, merdeka/bukan budak dan yang telah dibebani oleh panggilan syariat. Bila kaum muslimin menjalankan hal itu maka tidak ada kewajiban yang lain, baik zhuhur maupun selainnya. Bahkan shalat Jum’at itulah yang harus dilakukan saat itu.

Sungguh, dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, para sahabat radhiyallahu ‘anhum, dan as-salaf ash-shalih setelah mereka, tidaklah melakukan shalat wajib yang lain setelah Jum’atan… dan tidak diragukan bahwa hal itu (shalat zhuhur setelah Jum’atan) merupakan kebid’ahan yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyebutkan (yang artinya), “Berhati-hatilah kamu dari perkara-perkara yang baru, karena setiap perkara baru (dalam agama) adalah sesat.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 12/363)

Bolehkah Shalat Jum’at di Rumah dengan Keluarga?
Ada banyak riwayat tentang pelaksanaan shalat Jum’at di masjid, yang menunjukkan bahwa shalat Jum’at tidak boleh dikerjakan selain di masjid. Oleh karena itu, orang yang shalat Jum’at di rumah dengan keluarganya harus mengulangi dengan melakukan shalat zhuhur dan tidak sah Jum’atannya. Sebab, yang wajib atas para lelaki adalah shalat Jum’at bersama saudara-saudaranya kaum muslimin di rumah-rumah Allah Subhanahu wata’ala (masjid-masjid). (Lihat Fatawa al-Lajnah ad-Daimah 8/196)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Shalat Jum’at tidak sah selain di masjid (baik) di kota maupun desa.” (Fatawa Arkanil Islam, 391)

Shalat Jum’at bagi Orang yang Bekerja di Anjungan Lepas Pantai
Di sini kami akan menampilkan pertanyaan yang ditujukan kepada al-Lajnah ad-Daimah lil-Buhuts al-Ilmiyah wal Ifta’ (Komite Fatwa Ulama Saudi Arabia) beserta jawabannya dengan nomor fatwa 6113.

Berikut ini petikan terjemahannya. Kami para karyawan minyak perusahaan Aramco. Kebiasaan tugas kami adalah bekerja di tengah-tengah laut selama setengah bulan berturut-turut. Jumlah kami terkadang mencapai delapan orang. Pertanyaannya, apakah sah bagi kami shalat Jum’at padahal kami tidak menjadikannya tempat tinggal dan tidak selalu menetap, dan jumlah kami seperti yang telah disebutkan, ataukah kami shalat zhuhur? Kami berharap faedah dan semoga Anda semua selalu dalam kebaikan. Al-Lajnah ad-Daimah menjawab sebagai berikut : Jika kenyataannya seperti yang telah disebutkan bahwa kalian tidak menjadikannya tempat tinggal bersama orang-orang yang menetap dan kalian bekerja dalam kondisi terpencil di tengah-tengah laut selama lima belas hari, yang wajib atas kalian selama masa itu adalah shalat zhuhur, bukan Jum’at. (Fatawa al-Lajnah ad-Daimah 8/219—220)2

Membaca Surat Tertentu setelah Shalat Jum’at
Ada riwayat yang menyebutkan keutamaan membaca surat al-Ikhlas dan Mu’awidzatain (surat al-Falaq dan an-Nas) setelah shalat Jum’at, namun sanadnya lemah dan tidak bisa dijadikan landasan dalam beramal. Ibnus Sunni rahimahullah meriwayatkan dalam kitab ‘Amalul Yaumi Wallailah hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya), “Barangsiapa yang membaca setelah shalat Jum’at
قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ, قُلْ أعُوذُ بِرَبِّالفَلَقِ
dan
قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ
tujuh kali maka Allah Subhanahu wata’ala akan melindunginya dengan bacaan tadi dari kejelekan sampai Jum’at berikutnya.” Di dalam sanad hadits ini ada rawi bernama al-Khalil bin Murrah, ia seorang yang dhaif (lemah), dinyatakan lemah oleh Abu Hatim. Al-Bukhari rahimahullah juga berkata bahwa haditsnya munkar. (Ahaditsul Jumu’ah hlm. 133)

Bepergian di Hari Jum’at
Tidak mengapa seseorang bepergian di hari Jum’at karena tidak ada dalil yang kuat yang melarangnya. Adapun mengawali bepergian di waktu shalat Jum’at, pendapat yang kuat adalah tidak boleh bagi orang yang berkewajiban menghadiri Jum’atan, kecuali kalau dikhawatirkan akan terpisah dari rombongan yang tidak memungkinkan bepergian selain bersama mereka, dan uzur-uzur semisal itu. Sebab, apabila syariat telah membolehkan seseorang untuk tidak menghadiri Jum’atan karena uzur hujan, meninggalkan Jum’atan bagi orang yang kesulitannya melebihi itu tentu lebih boleh lagi. Demikian pula dibolehkan bagi yang khawatir tertinggal pesawat, kereta, dan semisalnya, padahal ia telah memesan tiketnya. (Lihat Nailul Authar, 3/273-274 dan Fatawa al-Lajnah ad-Daimah 8/203)

Mendirikan Shalat Jum’at Lebih Dari Satu Masjid di Satu Kampung atau Tempat
Jika keadaan menuntut dilaksanakannya shalat Jum’at lebih dari satu masjid di satu kampung, hal ini tidak mengapa. Misalnya, masjid yang biasa untuk Jum’atan sudah tidak bisa menampung banyaknya jamaah karena sempitnya masjid, atau antar warga terjadi pertikaian yang apabila disatukan Jum’atannya akan timbul kekacauan dan tidak bisa didamaikan, dan yang semisalnya. Adapun apabila Jum’atan dilaksanakan di banyak tempat (masjid) tanpa ada hajat (tuntutan) demikian, hal ini menyelisihi sunnah dan menyelisihi apa yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para khulafarasyidun berada di atasnya. (Lihat Fatawa Arkanil Islam hlm. 390)

Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah menerangkan, “Suatu hal yang maklum bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam membedakan secara praktik amaliah antara Jum’at dan shalat lima waktu. Sungguh telah kuat (riwayat) bahwasanya di Madinah banyak masjid yang didirikan shalat jamaah …

Adapun Jum’atan dahulu tidaklah berbilang. Jamaah masjid-masjid yang lain semuanya mendatangi masjid Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu Jum’atan di sana. Pemisahan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam secara amaliah antara shalat jamaah dan shalat Jum’at tidaklah sia-sia. Jadi, ini seharusnya dicermati. Meskipun ini bukan menjadi syarat (sahnya Jum’atan) … ,

setidaknya hal ini menunjukkan bahwa berbilangnya Jum’atan tanpa ada keperluan yang mendesak adalah menyelisihi sunnah3. Apabila seperti itu urusannya, seyogianya dicegah untuk tidak (terjadi) banyaknya Jum’atan dan bersungguh-sungguh agar Jum’atan disatukan sebisa mungkin dalam rangka mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat setelahnya. Dengan demikian, akan terwujud secara sempurna hikmah disyariatkannya shalat Jum’at dan faedah-faedahnya.

Arena Sport 1

MotoGp Delta